OLEH: MAHFUD FAUZI. SE, MITRA POLDA KAB. BATU BARA
Wahanainfo | Setiap tahapan pemllu membuka terjadinya peluang sengketa. Baik sengketa antara calon peserta pemilu dengan para penyelenggara, sengketa antar penyelenggara, ataupun sengketa sesama peserta pemilu. Oleh sebab itu, instrument hukum yang mengatur penyelenggaraan pemilu telah memfasilitasi sengketa pemilu ini.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur penyelenggaraan pemilu legislatif telah bagaimana proses penegakan hukum pemilu dilaksanakan. Mulai dari tahapan persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian pemilur, sudah diatur di dalam UU No. 7/2017.
lsu penegakan hukum pemilu ini sangat penting untuk ditelusuri lebih jauh karena bisa menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan penyelenggaraan suatu pemilihan umum yang jujur dan adil.
Sepanjang sejarah Indonesia, telah dilaksanakan sembilan kali pemilu dan pemilu pertama dilaksanakan dalam dua tahap pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota legislatif, sedangkan tahap keduanya untuk memilih anggota konstituante.
Dari penyelenggaraan pemilu pertama hingga pemilu kesepuluh, bangsa Indonesia telah mempunyai pengalaman dan menorehkan sejarah. Banyak pihak mengatakan, bahwa pemilu 1955 merupakan pemilu yang paling jurdil yang pernah dilaksanakan bangsa Indonesia, sebagaimana mengutip tajuk rencana dalam surat kabar harian Pedoman, tanggal 30 September 1955. Menulis pengamatannya tentang pelakasanaan pemilu di Jakarta Raya, ”Tiada huru-hara jang menggemparkan timbul”. (Pedoman: 30 September 1955).
Dalam waktu yang tidak terlalu lama kejujuran dan keadilan akan diuji dan Komisi Pemilihan Umum Pusat, Provinsi Kabupaten/Kota, Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, ditengah- tengah kesibukannya mempersiapkan tahapan Pemilu satu diantaranya adalah pemutahiran data pemilih untuk selanjutnya ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap dan hingga saat ini penulis amati masih menyisakan masalah.
Mengawasi Penyelenggaraan PEMILU 2024
Pelaksanaan demokrasi berubah seiring dengan perbahan tata cara Pemilu dan penyelenggaraan Pemilu. Tujuan yang hendak dicapai dalam membangun kehidupan demokrasi tidaklah pernah lepas dari landasan berpikir kearah tujuan pelaksanaan demokrasi yang lebih bermartabat. Di dalam sistem politik demokrasi, kebebasan dan kesetaraan tersebut diimplemantasikan agar dapat merefleksikan rasa kebersamaan yang menjamin terwujudnya cita-cita kemasyarakatan yang utuh.
Justru malah membatasi partisipasi publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pelanggaran yang masif terjadi dalam pemilu pasca reformasi terhadap asas luber dan jurdil serta kualitas dari pemilu sendiri. Tuduhan bahwa pemilu selama massa transisi ini terjadi banyak pelanggaran secara sistematis dan terorganisir untuk memenangkan partai berkuasa dalam rangka mempertahankan status quo pemerintah. Pelanggaran yang terjadi tidak semata-mata karena persoalan sengketa administratif namun juga persoalan yang mendasar seperti berkaitan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT), pencalonan anggota legislatif dll.
Ketidakberdayaan masyarakat sebagai elemen penting mengontrol jalannya pemilu. Akibat dari ketidaktransparanan penyelenggara pemilu itulah berbagai pelanggaran dilakukan seolah-olah menjadi hal yang biasa di setiap pemilu, tanpa ada usaha serius secara terorganisir untuk mencegah setiap pelanggaran pada pemilu. Bahwa adanya jaminan perundang- undangan yang meligitimasi peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu yang terdapat di dua UU, yaitu UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU No. 8/2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan memberikan kewenangan kepada Bawaslu dan Panwas untuk menyelesaikan sengketa Pemilu, adapun persoalan pidana diserahkan kepada penegak hukum, sedangkan administrasi kepada pengadilan tata usaha negara, adapun pelanggaran diselesaikan oleh KPU berdasarkan rekomendasi Bawaslu.
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia, Bawaslu Provinsi, Pantia Pengawas Pemilihan Umum {Panwaslu) Kabupaten/ Kota, Panita Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan (Panwascam), dan Pengawas Pemilihan Umum Lapangan (PPL) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, mempunyai tugas dan wewenang mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilu, yaitu menerima laporan pelanggaran peraturan mempengaruhi perolehan suara peserta Pemilu (misalnya pemalsuan surat suara, penggelembungan suara dll). Dalam hal ini Polri harus mendahulukan proses perkaranya segera, karena hal ini akan membawa pengaruh pada putusan Pengadilan yang harus sudah selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional.
Masalah yang perlu diperhatikan dalam kasus tindak pidana money politics yang berujung pada tindak pidana pencemaran nama baik ini adalah, harus dibuktikan terlebih dahulu tentang kebenaran dari perbuatan money politics tersebut (tentunya melalui putusan hakim).
Karena hal itulah yang menjadi dasar ada tidaknya pencemaran nama baik. Jika ternyata perbuatan money politics tersebut tidak terbukti benar dilakukan, maka barulah perbuatan menuduh melakukan money politics itu menjadi pencemaran nama baik, malah perbuatan pencemaran nama baik tersebut dapat menjadi tindak pidana memfitnah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 314 ayat (2) KUHPidana.
Jadi menurut penulis suatu hal yang keliru, jika masalah tindak pidana pencemaran nama baik yang didahulukan proses pemeriksaan perkaranya, daripada proses pembuktian (benar tidaknya) telah terjadi perbuatan money politics. Mengenai media cetak yang menyiarkan tuduhan perbuatan money politics tersebut, hal ini harus berpedoman kepada Undang-Undang Pers. Akan tetapi tentang pertanggung jawaban pidana bagi penulis atau wartawannya tetap berpedoman kepada KUHP sebagai Ketentuan Pidana Umum, oleh karena dalam Undang -Undang Pers tersebut tidak ada mengatur tentang pertanggungjawaban pribadi penulis maupun wartawan. Sedangkan untuk media elektronik, hal ini harus berpedoman kepada Undang Undang tentang lnformasi dan Transaksi Elektronik.
KESIMPULAN
Sistem penegakan hukum tindak pidana pemilu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 nampak begitu komprehensif, karena kriminalisasi terjadi hampir pada seluruh tindakan penyelenggara pemilu yang diasumsikan menyimpang dan merugikan masyarakat.