Memasuki tahun baru 2025, banyak persiapan yang sedang dilakukan pemerintah untuk memulai lembaran baru dan melanjutkan kinerja yang kemarin sudah digarap pemerintahan sebelumnya.
Yang baru akan dilaksanakan ada program Makan Bergizi Gratis yang sudah diwacanakan bakal terealisasi pada tanggal 2 Januari 2025. Beberapa waktu lalu Presiden Prabowo Subianto sudah menetapkan anggaran untuk setiap porsi makan gratis untuk anak-anak, yakni dengan nominal Rp 10 ribu.
Hal tersebut banyak menuai kritik dari berbagai pihak, karena nominal yang kecil kontras dengan sikon terkini. Beberapa pihak termasuk Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana
yang menjelaskan bahwa nominal itu nantinya bakal dibelikan bahan baku lokal dari produsennya langsung sehingga harga bisa ditekan. Pengolahannya pun mengandalkan gotong-royong dari ibu-ibu di wilayah tersebut, tentu ada komitmen harga tersebut nantinya juga bakal disesuaikan dengan harga di setiap daerah.
Namun harga yang dipukul rata sebesar Rp 10 ribu itu tetap mengundang banyak penilaian dari publik, karena anggaran terlalu kecil dari wacana sebelumnya yang berada di nominal Rp 15 ribu.
Harga yang ditetapkan bertolak-belakang dengan fenomena yang kini kerap dipertontonkan di medsos, dimana para petani ramai-ramai mengamuk dan membuang hasil panennya karena harga rendah yang tidak sebanding dengan biaya perawatan serta waktu yang mereka habiskan di lahan untuk bercocok tanam.
Tentu yang menjadi harapan mereka di tengah kondisi pasar sepi karena menurunnya daya beli seperti saat ini, adalah harga kembali stabil. Belum lagi problema pajak meningkat di saat daya beli rendah, tentu hal tersebut juga akan mempengaruhi penjualan mereka.
Sebelum bergotong-royong, pemerintah juga harus menolong mereka dalam memenuhi kebutuhan, satu contoh sederhananya membeli dengan harga pasaran bukan justru mengharapkan harga yang murah.
Walaupun dalam dunia perdagangan, pembelian dalam jumlah besar biasa mendapat harga yang murah. Namun jika hal tersebut tidak bisa terus-terusan, harus ada solusinya. Apalagi makan gratis ini sistemnya setiap hari, tidak mungkin pemerintah meminta harga yang murah terus dari mereka.
Itu baru soal sayur, belum lagi soal kandungan protein yang termuat dalam lauk pauk. Harganya sudah tinggi saat ini, telur hingga daging menjadi produk yang dicari.
Pemerintah harus juga punya pasokan yang besar karena pembeliannya nanti juga bakal bersaing dengan konsumen atau warga lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.
Belum kelar dengan persoalan terdekat, publik juga mulai diperlihatkan tentang tingginya biaya logistik untuk mendistribusikan bahan pangan ke wilayah timur Indonesia. Seperti halnya di Provinsi Papua, Maluku dan Nusa Tenggara, bahan pangan belum berproduksi sebesar di tanah Jawa.
Masalah itu yang nantinya harusnya masuk dalam perhitungan dan analisis dari tim pelaksana makan gratis.
Pakar gizi dari Universitas Airlangga (Unair), Qonita Rachmah, menyatakan bahwa kecukupan gizi dalam program makan bergizi gratis dengan anggaran Rp10 ribu per anak per hari sebenarnya bisa tercapai, namun dengan beberapa syarat.
Sesuai dengan wacana yang sudah dipaparkan pemerintah, beberapa langkah yang perlu diambil untuk mencapainya antara lain adalah penggunaan bahan pangan lokal, pengurangan biaya transportasi dalam distribusi bahan pangan, serta melibatkan tenaga lokal untuk mengolah makanan yang ditujukan bagi anak-anak dan ibu hamil.
Meskipun dengan strategi-strategi tersebut, Qonita menilai bahwa tetap sangat sulit untuk menyediakan makanan bergizi dengan anggaran hanya Rp10 ribu per anak per hari. Untuk itu pemerintah harus betul mencari cara untuk mengefektifkan pelaksanaan program tersebut. Tujuannya agar tidak merugikan warga dan tetap membawa kebermanfaatan yang besar bagi semua pihak, khususnya anak-anak yang menjadi target utama penerima fasilitas dari pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis nanti.