Usulan Presiden Prabowo Subianto soal kepala daerah yang kembali ditunjuk oleh DPRD memunculkan banyak kritik, karena hal tersebut berkaitan erat dengan hak demokrasi setiap rakyat Indonesia.
Usulan itu disampaikan tepat ketika puncak perayaan HUT Partai Golkar. Sontak bukan lagi kebetulan karena usulan tersebut mengingatkan kita pada masa Soeharto, sebagai presiden kedua sekaligus pendiri Partai Golkar yang melanggengkan kepemimpinan 32 tahun tanpa adanya demokrasi.
Rakyat tidak memiliki hak untuk menentukan siapa pengayomnya. Ya seperti halnya sistem kala itu, hanya pejabat yang tahu wacana dan siapa pemimpin yang dipilih untuk tetap berkuasa. Tidak ada demokrasi, pesta rakyat hanya jadi keinginan di belakang saja, hingga penggulingan terjadi dan demokrasi disuarakan seiring berjalannya waktu pasca orde baru.
Hak memilih saat ini sudah dirasakan rakyat, namun memang sikonnya saat ini bukan kental akan demokrasi yang sesungguhnya karena prosesnya sudah terkontaminasi dengan berbagai sogokan dan dinodai dengan bantuan serta kebutuhan yang mana ada harapan besar dari pemberian tersebut si pemberi akan diplih ketika pesta demokrasi terselenggara.
Ya itulah bentuk intervensi pemilu, orang memanggilnya money politic. Lalu apa dengan meniadakan Pilkada, bisa mengatasi money politic hingga tingginya golput serta kerugian bagi negara karena mengeluarkan banyak biaya untuk logistik pemilu?
Hal tersebut tentu melahirkan pro dan kontra. Pihak Pro pasti yang mendukung pemerintah baru seperti halnya Partai Golkar, salah satunya anggota komisi II DPR RI sekaligus politikus Golkar, Ahmad Irawan.
Di depan publik Ahmad bahkan turut merombak usulan Prabowo, yakni untuk gubernur dipilih oleh DPRD sedangkan bupati dan wali kota dipilih oleh rakyat. Alasannya tidak jauh dari tugas gubernur yang menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.
Selain itu Ahad juga menilai DPRD ini dipilih rakyat sehingga unsur demokrasi terpenuhi karena dipercaya rakyat untuk menjalankan tugas. Apakah hal tersebut dapat dibenarkan? Lalu jikalau benar, mengapa hak pilih rakyat dalam pencoblosan pemilu tidak bisa diwakilkan keluarga ataupun kerabat terdekat?
Artinya asas LUBER JURDIL betul diterapkan di sana.
Pakar hukum Feri Amsari menilai usulan Prabowo dengan membawa pertimbangan dan percontohan negara tetangga, Malaysia, yang sudah menerapkan hal tersebut tidaklah pas karena sistem pemerintahannya sudah berbeda terlebih dahulu. Tak hanya Feri, karena pengajar Fakultas hukum UI Titi Anggraini mengkritiki usulan tersebut adalah bentuk dari kemunduran.
Yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah evaluasi bukan menghilangkannya. Diantaranya dengan cara yang sudah ada dalam bayangan publik seperti memperkuat integritas lembaga penyelenggara, beserta memperketat aturan yang menertibkan pelaksanaan pemilu hingga memperbaiki sistem dengan cara yang lebih fleksibel.
Permasalahan besar tingginya angka golput karena banyaknya perantauan yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Mereka tidak mungkin pulang hanya untuk pencoblosan karena libur sehari tidak cukup untuk melakukan perjalanan, solusi itu yang harus dipecahkan pemerintah selain memberikan edukasi pentingnya menyalurkan hak demokrasi mereka.
Pesta demokrasi ini juga pestanya rakyat untuk menentukan pemimpin daerah pilihannya sesuai akal sehat dan hati nurani. Di sana ada edukasi untuk menerapkan demokrasi yang baik dan benar, sehingga keberadaannya penting di negara yang disebut sebagai negara demokrasi.
Seperti yang disampaikan Titi dan Feri, yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah evaluasi. Titi menambahkan narasi meniadakan Pilkada itu penuh kontroversi, bukan solusi karena kemunculannya justru menjadi sebuah kemunduran karena jika usulan itu diketok maka pemerintah sama halnya sudah menggugurkan hak rakyat dalam berdemokrasi.
Pada akhirnya sistem pemerintahan akan perlahan mendekati sistem orba, dimana hak demokrasi rakyat Indonesia musnah. Rasanya jika hal tersebut akan melukai para aktifis dan golongan muda lainnya, yang gugur memperjuangkan suara untuk bebas merdeka termasuk memiliki hak besar untuk menentukan pemimpinnya kelak,
Maka sudah semestinya, pertimbangan yang matang harus kembali dikaji pemerintah, tidak hanya pemikiran sekilas hanya demi menghemat anggaran yang sebenarnya penting untuk mengedukasi rakyat, atau justru menghemat demi dialokasikan ke sektor lain yang programnya lebih fantastis.
Publik harus turut mengawal, karena hal ini berkaitan dengan sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang transparan dengan keikutsertaan rakyat untuk turut urun suara di dalamnya. (Sumber: fb Melihat Indonesia)