Wahanainfo | Jakarta,Publik dikejutkan dengan pernyataan Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Maluku, Faisal Hayoto, melalui Media Online mengenai arti kata “darurat korupsi”. Pernyataan ini tidak hanya mengundang tawa, tetapi juga kekhawatiran mendalam tentang pemahaman dan kesadaran pejabat publik terhadap isu krusial yang menghantui negeri ini. Sabtu 22 Juni 2024.
Husain Marsabesy Kordinator Mahasiswa Maluku-Jakarta menyampaikan kepada media melalui chat WA Korupsi adalah penyakit kronis yang merusak sendi-sendi pemerintahan dan menghambat pembangunan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, mulai dari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan tindak pidana korupsi, hingga kampanye anti-korupsi di berbagai sektor. Namun, fakta bahwa seorang pemimpin pemuda—yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perubahan sosial—tidak memahami urgensi dan definisi dari “darurat korupsi” adalah cermin nyata dari minimnya edukasi dan sosialisasi mengenai bahaya korupsi di kalangan pemuda.
Lanjutnya “Darurat korupsi bukanlah sekadar istilah ,Ini adalah refleksi dari keadaan genting di mana korupsi telah merajalela dan menuntut tindakan segera dan terstruktur untuk diatasi” Dalam konteks Maluku, di mana isu-isu sosial dan ekonomi masih menjadi tantangan besar, korupsi hanya akan memperburuk keadaan. Dana pembangunan yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, malah diselewengkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Ketidaktahuan Faisal Hayoto ini seharusnya menjadi momen refleksi, baik bagi dirinya maupun bagi seluruh pemuda Indonesia. Sebagai pemimpin, ia memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya memahami isu-isu fundamental seperti korupsi, tetapi juga untuk menjadi agen perubahan yang aktif dalam memerangi korupsi di berbagai lini. Sikap abai atau tidak tahu terhadap isu krusial seperti ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam hal pendidikan dan pemberdayaan pemuda.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah-langkah konkrit. Pertama, edukasi anti-korupsi harus diperkuat di semua jenjang pendidikan. Kedua, sosialisasi mengenai bahaya dan dampak korupsi harus terus digalakkan, tidak hanya di kalangan pejabat dan aparatur negara, tetapi juga di komunitas pemuda. Ketiga, pemimpin organisasi pemuda seperti KNPI harus diberi pembekalan khusus mengenai isu-isu krusial, termasuk korupsi, agar mereka dapat menjadi role model dan penggerak perubahan di masyarakat.
Akhirnya, ketidaktahuan Ketua KNPI Maluku ini bukan hanya kesalahan individu, tetapi juga cerminan dari kurangnya perhatian terhadap edukasi dan sosialisasi anti-korupsi di kalangan pemuda. Sudah saatnya kita serius dalam membekali generasi muda dengan pengetahuan dan kesadaran yang cukup untuk memerangi korupsi, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Lap.jan