Hari itu, sekitar pukul 19.00 WIB, Tohap berjalan pulang dari warung di kampungnya, menuju ke rumah. Saat menginjakkan kaki di halaman rumah, tepat di dekat pintu depan rumah, tiba-tiba dia merasakan punggungnya sebelah kanan mendapat hantaman keras, seperti dipukul pakai benda keras.
“Sampai bunyi. Bukkk. Gitu bunyinya. Keras kali,” kata Tohap dengan kening mengernyit, mengenang peristiwa itu.
Mendapat hantaman seperti itu, dalam kondisi menahan sakit luar biasa, dia menoleh ke belakang. Ternyata, tak ada siapa-siapa. Tak ada orang yang melintas. Di jalan pun orang sepi.
“Tak ada orang. Sepinya keadaan saat itu,” lanjutnya bercerita.
Hantaman oleh sesuatu yang tak terlihat kasat mata itu, membuat Tohap mengalami sakit luar biasa. Dalam kondisi seperti itu, dia bersusah payah melangkah ke rumah. Dipanggilnya istrinya. Dia terus mengerang. Sanak famili yang dikampung itu dipanggil untuk melihat Tohap.
Tohap merasakan tulang punggungnya seperti patah. Malam itu, punggung dan bahunya diolesi obat urut seadanya. Tohap mengerang-erang menahan sakit.
Saat matahari sudah terbit, sanak keluarga memutuskan untuk membawa Tohap ke dukun patah. Dan ternyata benar, hasil pemeriksaan dukun patah, tulang bahu sebelah kanan Tohap patah. Dia pun diurut.
“Sakitnya luar biasa. Kek manalah yang patah tulang,” kata Tohap dan sembari kembali mengernyitkan keningnya, seolah mengenang rasa sakit itu.
Beberapa bulan berobat jalan, tulang bahu kanannya kembali pulih. Namun, tanda tanya dalam benaknya terus mengiang-ngiang, tentang apa sebenarnya yang terjadi. Kenapa dia mendapat hantaman seperti dipukul balok, tapi yang memukul tidak nampak.
“Dan lokasinya di situ juga. Tempatku jatuh pas memarkir kereta dulu. Jam nya juga hampir sama,” ujar Tohap.
Di tengah kondisi fisik yang semakin sudah kurang fit, Tohap menjalani hari-harinya dengan tetap rutin mendapat penanganan medis . Dia tetap rutin menjalani program cuci darah. Dalam hal ini cuci darah, menurut Tohap, adalah semacam sebuah kegiatan rutin membuang air seninya.
“Jadi, cuci darah katanya, membuang air kencing itunya pula. Sekali tiga hari lah itu,” kata Tohap.
Pada lengan kirinya juga terpasang alat untuk memompa laju darah. Alat yang terpasang itu membuat lengan kirinya tampak seperti memiliki jalinan urat-urat yang cukup menonjol. Dia mengaku, itu tidak terasa sakit.
“Nggak sakit. Alat inilah pula yang menompa darah itu, kan. Jadi, kalau seandainya pun macam dulu mau menambah darah, dari sinilah,” terangnya sambil menunjuk alat di lengannya.
Tohap melanjutkan ceritanya, bahwa sekitar setahun setelah kejadian aneh itu, yakni patahnya tulang bahunya akibat hantaman yang diyakininya berhubungan dengan hal mistis, sebuah informasi didapatinya. Informasi itu seakan menjadi sebuah kejadian yang membuka tabir tentang hal mistis yang menyelimutinya.
Informasi itu yakni tentang adanya seorang paranormal di sebuah kampung yang terletak satu kecamatan dengan tempat tinggalnya, ada paranormal. Seorang perempuan paruh baya.
Dalam istilah lokal, paranormal dimaksud itu dinamakan “Hasandaran”. Hal ini berarti, roh nenek moyang zaman dulu, merasuk ke dalam raga si hasandaran, atau dalam hal ini “memakai” raganya sebagai medium untuk menyampaikan pesan, pendapat, dan juga ramalannya.
Paranormal itu semarga dengan Tohap. Moyang yang ”marhasandaran” dalam raga paranormal itu, adalah moyang si Tohap juga, dari garis marga yang sama. Tohap berpendapat, di antara sejumlah paranormal yang telah mengobatinya, yang terakhir inilah yang lebih memberi titik terang akan hal mistis yang sudah lama diyakininya.
Hubungan dengan si paranormal mulai dijalin. Diawali dengan kunjungan pertama istri dan beberapa sanak famili Tohap ke rumah si paranormal, untuk berkenalan dan konsultasi. Tohap tidak bisa lagi ikut. Dikarenakan kakinya masih dalam perawatan.
“Jadi, cuma istri dan sepupuku lah yang ke sana,” kata Tohap.
Ramalan dimulai. Hasil penerawangan awal oleh si paranormal, Tohap kena guna-guna. Tapi, untuk menyingkap tabir itu, harus ada ritual awal lebih dulu. Dimana, menurut ramalan si paranormal, roh moyang Tohap sekitar tiga atau empat generasi ke atas, “mardandi” kepada Tohap. Mardandi adalah bahasa Batak yang jika diartikan ke bahasa Indonesia : merajuk, atau ingin dibujuk.
Paranormal itu mengatakan, roh moyang dimaksud merajuk atau marah, karena Tohap dan sanak familinya segenerasi, sangat jarang menjiarahi moyang tersebut. Akibatnya, ketika Tohap sakit, apapun obat yang dipakaikan kepada Tohap, akan tidak berkekuatan.
“Jadi, harus ziarah lah dulu kami. Sesudah ziarah, barulah kembali lagi ke paranormal itu,” ujar Tohap.
Atas ramalan itu, Tohap dan sanak familinya berangkat ziarah. Doa-doa dipanjatkan, untuk segala kelancaran urusan pengobatan. Akan tetapi, beberapa lama kemudian selepas ziarah itu, sebuah kejadian naas kembali menimpa dirinya.
Malam itu, sekitar pukul 19.00 WIB, Tohap beranjak dari ruang tamu menuju kamar mandi, hendak buang air kecil. Saat menginjakkan kaki di lantai kamar mandi, tiba-tiba, brakkkk! Dirinya terpeleset.
“Padahal lantainya nggak licin. Kok bisa pula aku tiba-tiba terpeleset,” katanya mengenang.
Peristiwa naas itu tidak hanya membuatnya terkilir biasa. Namun, lutut kaki kanannya menjadi bergeser dari persendian. Dia harus kembali berobat ke dukun patah untuk membetulkan tulang lutut itu.
“Pas diurut itu membalikkan posisi lutut itu, bah, sakitnya minta ampun. Sampai bunyilah. Krek..krek..gitu bunyinya,” katanya bercerita, sembari menyuruh anaknya mengambil minyak urut untuk ditiriskan ke lilitan kain di lututnya, karena sudah kering.
Peristiwa itu kembali membuatnya agak bertanya-tanya, apa arti semua ini. Di tengah situasi seperti itu, Tohap dan sanak keluarga memutuskan untuk kembali lagi berkonsultasi ke paranormal “hasandaran” itu, sebagaimana kesepakatan dulu.
Karena kondisi Tohap sedang belum dapat berjalan akibat pemulihan cedera kaki kanannya, maka yang berangkat menemui si paranormal ke rumahnya adalah istri Tohap dan beberapa sepupu Tohap antara lain Horas (nama samaran) dan istri Horas.
Lebih lanjut mengenai cerita pengobatan dari si paranormal hasandaran itu, lebih banyak disampaikan oleh Horas didampingi istrinya, yang pada saat itu hadir ke rumah Tohap, atas permintaan penulis. Keduanya hadir beberapa saat kemudian setelah penulis berbincang-bincang dengan Tohap.
Horas mengaku, awalnya, masih agak ragu kalau penyakit sepupunya itu kena guna-guna. Karena itu, setiap kali turut menemani sepupunya berobat ke paranormal-paranormal sebelumnya, dirinya tak pernah merasa takut, kalau-kalau ada hal mistis yang memang akan mengganggu.
Namun, setelah berhadapan dengan paranormal hasandaran ini, barulah dirinya yakin betul, kalau hal mistis itu memang ada. Dengan raut wajah sangat serius, dia mengisahkan dua hal yang menurutnya sangat di luar logika, yang diungkap oleh paranormal hasandaran itu.
Horas mengisahkan, hal di luar logika yang pertama adalah penemuan miniatur atau patung kecil berbentuk kepala manusia, di bawah pohon besar, di hulu atau sumber air perkampungan.
Dia menceritakan, malam itu, dia bersama istrinya, istri Tohap, dan seorang sepupu laki-laki Tohap yang lain, pergi ke rumah si paranormal hasandaran itu untuk melanjutkan pengobatan terhadap Tohap.
Kepada si paranormal, mereka bercerita kalau mereka sudah pergi ziarah, sebagaimana petunjuk paranormal itu. Selain itu, mereka juga bercerita kalau Tohap sedang dalam kondisi belum bisa berjalan bebas, akibat cedera di kaki kanannya, dan karena itulah maka mereka lah yang hadir.
Ritual dimulai. Paranormal mengambil sikap duduk bersila pada tikar dari anyaman pandan. Di sekitarnya dijejerkan ramuan. Aroma jeruk purut menusuk hidung. Sirih, kapur, tembakau dan pinang, turut jadi pelengkap ritual. Pisau kecil bermata tajam tampak baru diasah diletakkan di samping cawan. Pisau itu berujung runcing, seolah siap menusuk siapa pun yang mengganggu ritual.
Mulut paranormal mulai tampak komat-kamit. Tidak terbuka lebar. Namun dari celah bibirnya terdengar desisan suara-suara kecil. Tampaknya sedang merapalkan mantra dan memanjatkan doa-doa. Suasana hening, menunggu apa yang akan disampaikan si paranormal.
“Siapa namanya yang sakit itu?” tanya si paranormal dengan suara agak serak.
Pertanyaan yang datang tiba-tiba itu membuat Horas dan yang lain agak tersentak, di suasana hening itu.
“Tohap.”
Paranormal kembali memejamkan matanya. Keningnya mengernyit. Lalu beberapa saat kemudian dia mengangguk-angguk, seperti mendapat petunjuk atau informasi baru.
“Ada patung. Dibuat di bawah pohon. Pohonnya besar…tinggi..” ucap si paranormal.
Horas dan yang hadir di situ belum memahami apa maksud si paranormal.
“Gimana maksudnya, oppung? Kami belum paham,” tanya Horas, yang juga seperti mewakili isi hati yang hadir.
Paranormal itu kemudian menuturkan, si pembuat guna-guna terhadap Tohap, membuat sebuah ukiran patung kecil dari tanah liat, berbentuk kepala manusia. Patung itu menurutnya adalah medium untuk mentransfer pengaruh mistis ke tubuh Tohap. Caranya adalah dengan menusukkan paku ke patung tersebut.
“Ditusuki pakai paku. Banyak paku yang ditusuk itu,” kata si paranormal.
Paranormal itu melanjutkan penerawangannya. Matanya kembali dipejamkan. Beberapa saat kemudian, dia kembali mengangguk-angguk sambil bersuara hmmm..hmmm… seperti kembali mendapat informasi baru.
Lalu dia menyampaikan kalau dari hasil penerawangannya, patung itu terletak di penghujung kampung.
“Di bawah pohon besar. Di dekat sungai,” kata si paranormal.
Dia kemudian menyampaikan semacam petunjuk arah jalan menuju letak patung tersebut.
“Kalau dari rumah yang sakit ini, jalan terus ke arah kampung tetangga yang di atas. Nanti ada simpang mau ke sungai, di sekitar situlah pohonnya. Ada dua pohon itu. Satu udah tumbang,” katanya menjelaskan.
Mendengar petunjuk dari si paranormal itu, Horas dan keluarganya yang hadir di situ, mencoba menerka-nerka, dimana lokasi tersebut. Tiba-tiba, dalam ingatan Horas hadir bahwa dia sepertinya mengenali lokasi itu. Dia mengingat-ingat, sepertinya dirinya belum lama ini, pernah mencoba mencari Ikan jurung ke sekitar sumber air itu, untuk keperluan pengobatan Tohap.
“Apakah yang dimaksud oppung itu, ada pohon bambu di sekitarnya, dan sumber air itu agak ke jurang di bawah pohon itu?” tanya Horas.
“Iya, betul sekali”
“Berarti aku udah tau tempat itu,” kata Horas yakin.
“Yakin kau tau?” tanya istri Horas.
“Iya. Aku pernah mancing ikan di daerah situ.”
Malam itu juga, si paranormal mengajak Horas dan rombongan, menuju lokasi yang diterawang tersebut. Mereka berenam : paranormal hasandaran dan anak laki-lakinya, Horas dan istrinya, sepupu laki-laki Tohap, dan paman Tohap.
Mereka beranjak dari rumah paranormal. Naik mobil. Melaju menyusuri jalan raya yang aspalnya sudah berlubang-lubang. Jalan berstatus milik provinsi itu sudah lama tak dapat perawatan.
Sekitar 7 kilometer melaju ke arah selatan, mobil kemudian berbelok ke persimpangan arah kiri. Ini jalan kecamatan. Jika dari ibukota kabupaten, jalan menuju ke rumah Tohap umumnya melalui jalan ini.
Sekitar tiga kilometer, mereka tiba di depan rumah Tohap. Namun, rombongan tidak turun dari mobil. Paranormal mengarahkan supaya terus melaju. Jalan semakin menanjak kecil. Sesekali ada tikungan tajam. Lebar ruas jalan itu sekitar 3 meter.
Dan, tibalah mereka di titik persimpangan jalan menuju sumber air. Simpangnya sebelah kiri jika dari arah rumah Tohap.
Daerah inilah yang diyakini oleh Horas sebagai lokasi yang diterawang oleh si paranormal.
Semak di kiri kanan jalan. Ini juga adalah wilayah perladangan penduduk setempat.
Mereka berjalan menyusuri jalan tikus. Horas memandu di depan. Disusul paranormal dan istri Horas sekitar tiga meter di belakang. Kemudian di belakangnya menyusul anak laki-laki si paranormal, paman dan sepupu Tohap.
Karena yang menguasai medan adalah Horas, maka laju jalannya terkadang lebih kencang melebihi yang lain. Dia harus berhenti sekali-kali, untuk menunggu rombongan yang lain.
Horas mengaku, pada saat awal penelusuran itu, dirinya tidak sedikit pun merasa ketakutan.
“Ahh. Langsung kek mana rupanya. Terus langsung kek mana. Nggak ada itu mistis-mistisnya. Itulah dalam hatiku waktu mencari patung yang dibilang paranormal itu,” kata Horas bercerita.
Dia melanjutkan ceritanya, saat itu jam menunjukkan sekitar pukul 23.00 WIB. Suasana hening. Tidak mendung. Senter handphone jadi alat membantu penerangan menembus malam.
Suara aliran hulu air jelas terdengar, menyusuri bebatuan sungai. Hembusan angin menusuk di pori-pori. Desis daun bambu dihembus angin, turut mengisi pendengaran.
“Ini pohonnya,” kata Horas sambil menunjuk sebuah pohon.
Pohon itu besar, menjulang tinggi. Tingginya kurang lebih 20 meter. Diameternya pada bagian bawah sekitar 3 meter. Akarnya bagian atas sudah tak tertanam lagi di tanah. Sudah muncul ke permukaan, bagaikan membentuk gua. Akar itu dikelilingi semak belukar.
Pada malam itu, si paranormal dalam kondisi tidak “hasandaran”. Dia berada dalam kondisi sebagai “manusia biasa”.
Akan tetapi menurut Horas dan istrinya, si paranormal itu sesekali seperti mengiyakan bisikan. Mengangguk dan bilang iya. Sesekali mengajukan tanya.
“Malam itu, dia (si paranormal) tidak dalam keadaan hasandaran. Tapi, macam ngomong-ngomong dan ngangguk dia sekali-sekali. ‘Kan di sini kan. Inilah pohonnya itu. Iya kan?’ Gitu dibilangnya,” ujar Horas melanjutkan ceritanya.
Mereka kemudian menyibak semak yang mengitari akar pohon itu secara perlahan. Setiap jengkal diperhatikan. Namun, pencarian sekitar 30 menit, hasilnya masih nihil.
“Benarnya ada itu? Nanti tak ada pula apa-apa di sini. Gitu pikirku malam itu,” kata Horas.
Pohon itu di apit dua rumpun pokok bambu. Paranormal itu menerawang, jika benda mistis yang dicari itu berada di bawah pohon dekat pokok bambu. Tapi, pohon bambu yang sebelah mana? Karena, ada dua rumpun pokok bambu di situ.
Pencarian mulai diarahkan ke arah pokok bambu sebelah daratan. Sibak punya sibak, ternyata hasilnya juga nihil.
Namun, akhirnya, titik terang muncul saat upaya terakhir dilakukan untuk mencari ke arah pokok bambu di sebelah sumber air. Senter diarahkan dengan teliti. Semak yang mengitari akar pohon itu kembali disibak dengan hati-hati dan perlahan.
Saat Horas mencoba menyibakkan semak dengan tangannya dan masuk agak menunduk ke kolong akar pohon itu, saat itulah, astaga… jantungnya hampir copot melihat benda yang ditemukannya.
BERSAMBUNG…